“Tundukkan marah dan amarah dengan Berpikir Tenang!” merupakan judul artikel saya kali ini. Artikel ini mengandung makna filosofis yang bisa membawa kita melakukan introspeksi sekaligus menetralkan unsur “api” kemarahan kita dengan strategi berpikir. Kemarahan yang diterjemahkan dalam bahasa Inggris “Anger” berbeda dengan Amarah yang padanannya “Rage” dalam Bahasa Inggris, dimana “anger” merupakan proses kita meluapkan ketidaksenangan kita terhadap orang lain namun dalam konteks kita masih bisa mengendalikan diri kita, sedangkan “rage” merupakan kemarahan yang sudah tergolong “uncontrollable” secara emosional, misalnya dengan melemparkan benda-benda tertentu, menggebrak meja, dan sebagainya.
Sulit untuk mencari orang yang tidak pernah marah, namun mungkin banyak orang yang tidak meluapkan marah secara berlebihan (amarah) karena mereka masih bisa mengendalikan emosinya. Marah sesekali perlu ketika marah itu ditujukan memberikan edukasi kepada orang lain yang berbuat kesalahan atau perbuatan yang tidak pada tempatnya. Namun, jangan sampai marah sering-sering dilakukan karena marah ini akan berkembang menjadi “marah-marah” dan menujukkan karakter orang tersebut sebagai “pemarah”.
Secara psikologis, “marah” dan “amarah” merupakan bagian dari emosi negatif, namun ketika kita bisa mencari “lawan” nya dalam pikiran kita, maka ia bisa menetralisir blok emosi yang terjadi. Berikut adalah beberapa hal yang perlu diciptakan saat marah dan amarah mulai menghampiri kita.
Buatlah sebuah jedah antara proses dari meluapnya emosi sehingga tidak mencapai titik yang potential menyebabkan blok emosi yang berakibat pada ketidakseimbangan psikologis, dengan interospeksi diri. Lawan kata (antonym) dari “marah” adalah “sabar”. Saat kita hendak marah, cepat-cepatlah membuka kamus dalam pikiran kita, dan ketika kita melihat kata “sabar”, maka yang akan terbayang adalah (a) konsekwensi jika kita tidak bisa bersabar atau melampiaskan kemarahan kita terhadap orang yang telah menjengkelkan kita, (b) kerugian bagi diri kita jika kita tidak bisa mengendalikannya, misalnya kita menjadi lebih mudah sensitif (karena muncul persepsi negatif terhadap orang tersebut). Ketika proses “marah” tersebut akhirnya keluar dan dimanifestasikan dalam perubahan neurologis dalam sistem syaraf yang ada pada otak kita, maka jedah yang muncul dari kondisi yang kita ciptakan di atas, akan mengurangi ketegangan dalam pikiran kita sehingga terjadi proses netralisir blok emosi negatif. Kesadaran baru muncul dan merubah “marah” yang tidak produktif menjadi “marah” yang memiliki dimensi edukasi pada orang lain, yang sekaligus bisa menata-ulang emosi kita.
Ketika kondisi pada poin di atas tidak bisa dicapai, misalnya, akibat pemicu yang bersifat multifaktorial, jika marah akan berkembang cepat menjadi amarah. maka ingatlah bahwa Luapan atau ledakan emosi yang kontraproduktif ini memiliki dampak sangat buruk bagi kesehatan kita, blok emosi yang disebabkan oleh amarah menjadi salah satu penyebab dari berbagai penyakit berat seperti stroke dan serangan jantung. Amarah (rage) juga merupakan “api” yang bisa membakar atau menghanguskan unsur kayu dalam diri kita. Contoh organ yang terpengaruh adalah organ hati (liver). Ketika amarah ini sudah terjadi, ada dua proses yang terjadi yakni di tahap awal, dimana “api” amarah baru membakar sebagian “kayu”, maka cara mengatasinya adalah dengan cepat ber “istighfar”, atau memohon ampun kepada Tuhan YME, karena kita lalai sehingga membiarkan rasa marah yang mulanya masih bisa langsung dinetralisir, tetapi kita biarkan marah itu menjadi liar dan berkembang menjadi amarah. Tanda-tanda api mulai membakar api antara lain, keluarnya kata-kata kasar, nama-nama hewan yang ada di kebun binatang, kata-kata kotor, sumpah serapah dan sebagainya. Di tahap berikutnya saat amarah sama sekali tidak bisa dikendalikan sehingga muncul “tindakan brutal atau anarkis” seperti melempar piring, melakukan kekeasan fisik, menggebrak meja, dan sebagainya.ini berarti “api” amarah sudah terlanjut melahap semua “kayu” yang ada.
Lalu apakah masih ada cara untuk menetralisir blok emosi yang sudah tercipta? Sebernarnya kata “menetralisir” tidak lagi tepat digunakan, tetapi kita lebih tepat menggunakan kata “memadamkan api” sekalipun mungkin yang tersisa tinggal “abu” saja. Ibarat nasi sudah menjadi bubur, maka kejadian ini menimbulkan bekas dalam diri kita, bisa berupa gangguan kesehatan dan psikologis seperti yang telah dijeaskan pada poin sebelumnya. Karena penyelamatan kayu sudah tidak bisa dilakukan, maka jadikanlah “abu” dari pembakaran kayu tersebut menjadi dasar untuk menata ulang diri, mengingatkan diri kita bahwa kita telah lalai (berupa introspeksi diri), bersungguh-sungguh ingin merubah diri kita dengan melatih kesabaran dari awal dan menaburkan benih-benih cinta kasih dan kasih sayang pada orang lain, termasuk kepada orang yang selama ini membuat kita jengkel dan memicu amarah kita. Selama kita masih hidup tentu masih punya peluang memperbaiki diri, apalagi kita yakin Tuhan YME menyayangi hamba-hamba Nya, bukan? Pertama kembalilah memohon ampunan dari Tuhan YME karena kelalaian kita tersebut, lalu sadarilah hidup ini adalah pilihan, apakah kita ingin membakar semua unsur kayu di dalam diri kita sampai mati, atau kita ingin sehat dan panjang umur. Jika kita ingin pilhan kedua, maka mau tidak mau kita harus me”reframe” persepsi kita sehingga kita bisa melihat sebuah peristiwa yang menjengkelkan kita tersebut dan telah memicu amarah kita, bisa bergeser menjadi sebuah persepsi positif yang memberdayakan dengan menggunakan kecerdasan pikiran bawah sadar kita, kita bisa berpikir out of the box, bukan?
Demikian artikel ini semoga bisa memberikan sudut pandang baru yang memberdayakan bagi semua pembaca.