Spiritualis memandang dunia materi

money trapJudul artikel ini pada dasarnya bukan hal baru namun menurut penulis, hal ini menjadi sebuah titik awal bagi pemahaman khususnya bagi mereka yang belum atau tidak pernah menjalani dunia spiritual. Dunia spiritual di sini bukan dunia perdukunan karena yang dimaksud penulis adalah dunia yang ada dalam pandangan para praktisi yang menjalankan kehidupan secara ruhaniah yang membimbingnya kepada sifat-sifat ketuhanan atau Ilahiah.

Dunia materi khususnya uang adalah tolok ukur bagi mereka yang tidak termasuk dalam kategori seorang spiritualis sejati. Dengan demikian dapat dilihat dari cara orang tertentu berpromosi untuk menjual segala bentuk ‘aksesoris’ atau perlengkapan dunia mistis yang ujung-ujungnya untuk mencari kekayaan duniawi.  Seorang spirituali sejati malah sebaliknya. Ia tidak terpancing dan terlena oleh gemerlapnya harta duniawi namun ia menjalani masa kehidupannya dengan hidup harmonis dan senantiasa mengingat Tuhan. Ia tidak memiliki banyak tuntutan namun ia selalu membuka diri untuk sebuah kebaikan dan kebajikan bagi semua makhluk. Kadar ruhaniah yang ia miliki melampaui kesenangan akan duniawi namun ia tidak melupakan bahwa kehidupan duniawi adalah perlu, namun dengan jalan yang tidak bertentangan dengan nilai-nilai spiritualitas itu sendiri.

Dewasa ini dalam kondisi ekonomi yang sulit. ada sebagian orang yang semula hidup dalam spiritualitas yang tergiur untuk mencari kehidupan yang secara materi dianggap bisa menjamin kebahagiaan duniawi tersebut. Mereka sebenarnya belum lulus ujian tahap awal dari dunia spiritual sesungguhnya. Apalagi ada yang berkedok sebagai dukun untuk secara psikologis memainkan ‘state of mind’ dari para kliennya, hal mana merupakan gaya non spiritualis yang dikemas dalam bentuk=bentuk yang seolah-olah spiritual.  Beda sekali dengan para spiritualis sejati yang tidak terpancing dan terpikat hanya oleh segepok uang ratusan ribu.

Mereka petulang ruhani atau spiritualis sejati mengekplorasi dunia bathinnya terkoneksi dengan samudra luas yang membawanya menyebrang (melakukan trnsformasi) dalam pikirannya dari suatu hal yang buruk menuju suasana bathin yang terang benderang, sehingga tak heran, mereka bisa menangkap sinyal-sinyal yang tidak diperoleh oleh orang awam, apalagi para pemuas nafsu duniawi dan penggila materi.  Ibarat kata, mereka melihat matahari yang terang menuju pada kehidupan spiritual yang lebih cerah, sedangkan pencari kebahagiaan duniawi sebaliknya, turun ke lembah atau jurang yang menjanjikan berbagai kenikmatan namun penuh tipu daya dan perangkap (baca: kemelekatan).

Dengan demikian sudah cukup alasan mengapa banyak pencari cahaya spiritual mengambil jalan yang berbeda dengan pencari kesenangan duniawi. Mereka senang ketika berbagi kebahagiaan, menjaga sikap dan moralitas, etika dan sopan santun. serta tidak terbebani oleh kebodohan bathin termasuk kemelekatan yang menjadikan mereka sulit lepas dari jeratan kesombongan dan keserakahan.  Mereka yang memiliki jiwa seorang spiritualis sejati inilah yang cocok menjadi Guru dalam berbagai konteks spiritual termasuk meditasi.  Sedangkan mereka yang tidak memiliki atribut tersebut, sekalipun menamakan diri sendiri sebagai Guru, tidak akan membawa murid-muridnya menuju cahaya Ilahiah, malah mungkin sebaliknya.

Interaksi seorang yang telah mencapai pencerahan ibarat Yin-Yang, tidak mandeg dengan suatu pengajaran ‘memberi’ namun juga ‘meminta’ mengapa?  Karena ketika hanya ada satu kata, misalnya ‘memberi’ maka suatu saat kelak akan muncul rasa sombong seakan-akan mereka telah mencapai tingkatan tanpa kekurangan, padahal dalam bathin mereka terjadi konflik.  “Meminta” dalam urusan Ilahiah bukan kata tabu atau ‘mengemis’ namun, kata ini lebih cenderung pada kebutuhan akan bimbingan menuju pencerahan atau transformasi diri menjadi lebih baik secara spiritual.  Seorang petualang, seorang pertapa dan Yogi juga adalah orang-orang yang haus akan kebenaran, ingin membedah dunia bathin untuk melepaskan diri dari kemelekatan.  Dan itu adalah tanda bahwa mereka juga ‘meminta’ kepada Zat yang Maha Tinggi, Tuhan YME, untuk mendapatkan petunjuk.  Kunci menerima dan memberi adalah sebuah rangkaian yang menjadikan hidup lebih hidup karena ada keterkaitan dan harmonisasi di dalamnya.  Meminta bukan berarti membiasakan diri bermalas-malasan atau mengemis, tetapi  memberi pun tidak melakukan sebuah upaya positif jika ada keinginan terselubung di dalamnya.  Semuanya membutuhkan keikhlasan. Semua membawa cahaya ketika dilakukan dalam keadaan seimbang, dan semua akan membentuk kehidupan itu sendiri. Kata kunci memberi dan menerima adalah keikhlasan dan rasa syukur, bukan karena siapa aku tetapi karena pengembangan daya bathin mencapai transformasi diri.