Judul artikel pada kali ini adalah “Persepsi keliru karena sikap mental buruk” sengaja penulis angkat karena hal ini seringkali terjadi dalam kehidupan sehari-hari kita dimana interaksi sosial sering menyebabkan ambiguitas terhadap sikap mental (mental attitude). Di sini penulis melihat ada beberapa sisi dari kehidupan orang-orang yang belum menyadari bahwa sikap mental seseorang sebenarnya merupakan respons terhadap situasi, kondisi atau lingkungannya. Ketika diterjemahkan secara keliru maka sikap mental menjadi bias karena ada di dalamnya pandangan subyektif dari orang yang memberikan penilaian baik secara langsung maupun tidak langsung.
Beberapa kondisi yang harus dipahami dan dimaknai sebagai sikap mental (mental attitude) yang positif adalah bahwa:
- Sikap mental itu ibarat “obat” yang pahit, sehingga ketika kita menelannya, maka pada tataran syaraf lidah pahitnya terasa sedangkan efek penyembuhannya bereaksi ketika sudah bercampur dalam proses pencernaan. Seperti anak kecil yang tidak suka dengan makanan pahit, penolakan terus terjadi sehingga wajar kesembuhan akan sulit terjadi. Dalam psikologi, ketakutan akan makanan pahit ini perlu di ‘reframe’ sehingga muncul kesadaran baru bahwa yang pahit sebenarnya lebih baik daripada yang ‘manis’ karena untuk menuju proses penyembuhan khususnya terhadap penyakit “gula darah” (pen. ‘penyakit’ orang yang berpola hidup tidak sehat), dan ‘penyakit gatal-gatal’ (pen. ‘penyakit’ yang senang menghinggapi orang yang jahil dan senang memprovokasi orang lain)
- Sikap mental itu adalah cermin dari jati diri. Dalam hal ini, ada dua tipe kepribadian, yakni mereka yang berbicara dihadapan orang lain berbeda dengan ketika berada di belakang layar (alias munafik) dan orang yang berbicara apa adanya sesuai fakta dan berusaha menjaga lidahnya. Yang terakhir disebut ini adalah tipe sikap mental yang positif.
- Sikap mental merupakan landasan spiritual menuju kesadaran hakiki. Tidak juga ‘blak-blakan’ atau ‘mingkem’ yang baik, tetapi sikap bijaksana yang membawa orang memasuki dimensi spiritual yang lebih tinggi. Ingatlah “mulutmu harimaumu dan akan menerkam dirimu sendiri”, sebuah peribahasa lama yang sampai sekarang masih jadi pakem bagi orang yang ingin memasuki dunia spiritualitas yang lebih baik.
Sebuah tindakan yang dilakukan berdasarkan norma-norma sosial dan tidak bertentangan dengan hukum yang berlaku adalah sikap mental yang positif. Apalah artinya berkata manis di depan orang lain, bahkan sampai ‘overacting’ sedangkan di belakangnya banyak akal licik yang dilancarkan untuk mencari keuntungan dari orang lain. Di sisi lain, sikap yang buruk seperti berbicara kasar, caci maki, sampai kata-kata yang tak pantas diucapkan juga mencerminkan jati diri yang frontal, susah diatur, keras kepala dan cenderung ‘semau gue’. Sikap mental yang disebut terakhir ini bukan hanya merusak hubungan harmonis antar individu tetapi juga berpotensi menghancurkan diri orang itu sendiri. Katakanlah ‘roda waktu’ berputar dan pada saatnya, ketika ‘dewi fortuna’ tidak lagi bersamanya, ia akan hancur lebur, bahkan bisa merubah secara total perilakunya sampai menghadapi masalah kejiwaan yang serius.
Oleh sebab itu, sebuah sikap mental yang baik harus dimulai dan dipelihara yakni dengan menjaga koridor yang ada dalam tatanan masyarakat seperti mengikuti norma sosial, sopan-santun, norma hukum dan sebagainya. Penulis yang juga pernah menjadi guru di sekolah menengah atas bertaraf internasional di Jakarta, ikut prihatin terhadap sebagian sikap mental (attitude) dari siswa/i yang tidak menghormati guru, bahkan terkesan menganggap guru di sekolah tidak lebih baik dari “asisten rumah tangga” mereka. Sungguh ironis, seharusnya mereka memahami bahwa guru adalah orang yang patut mereka hormati dan teladani. Mungkin mata pelajaran seperti Pendidikan Moral Pancasila perlu kembali dihidupkan sebagai bagian dari revolusi mental.