Mengenal dan memahami Suara Hati

memahami suara hatiSejak kecil kita semua pasti telah mendengar kata Suara Hati, bahkan ada ungkapan seperti “Ikutilah suara hatimu..”  Apakah Suara Hati itu sebenarnya, apakah bisikan setan atau malaikat, atau mungkin halusinasi?  Berikut kita sedikit membahas tentang suara hati

Berdasarkan kamus online Merriam Webster, suara hati (Conscience) memiliki beberapa arti seperti:

a :  the sense or consciousness of the moral goodness or blameworthiness of one’s own conduct, intentions, or character together with a feeling of obligation to do right or be good

b :  a faculty, power, or principle enjoining good acts

c :  the part of the superego in psychoanalysis that transmits commands and admonitions to the ego
Pada dasarnya suara hati mengacu pada nilai-nilai moral dan estetika sehingga banyak yang mempercayainya sebagai kebenaran. Ketika kita ingin melakukan sesuatu tindakan yang buruk, maka suara hati biasanya akan mengingatkan kita berhati-hati, namun sayangnya suara hati itu kini kebanyakan telah terkontaminasi oleh nafsu duniawi yang cenderung memuaskan diri sendiri akan materi, syahwat, kedudukan dan sebagainya. Debu bahkan kotoran yang menutupi suara hati ini semakin lama semakin terakumulasi karena dua faktor utama yaitu:
  • faktor internal seperti ingin melampiaskan keinginan atau nafsu lahiriah,
  • faktor eksternal dari orang terdekat atau lingkungan yang mengakibatkan munculnya keraguan dalam hati dalam melakukan tindakan dengan penuh kesadaran.  Misalnya, budaya korupsi yang ‘menular’ menempatkan diri kita kepada sebuah petualangan negatif dalam mencari sebanyak-banyaknya harta kekayaan tanpa mempedulikan moralitas maupun nilai-nilai dalam kehidupan lainnya

Suara hati yang jernih (pure conscience) sebenarnya muncul bukan dari sebuah nafsu atau pemaksaan kehendak, namun dari ketenangan jiwa atau spiritualitas yang baik.  Suara hati bisa berfungsi sebagai penasehat sekaligus benteng yang memberikan nasehat dan peringatan. Dari filter mental yang kita miliki, suara hati sebenarnya menunjukkan eksistensinya, namun banyak sekarang ini ‘filter’ yang kotor karena tidak pernah dibersihkan dengan melihat secara jernih sebuah duduk perkara atau kejadian.  Yang ditonjolkan adalah emosi, nafsu dan berbagai keinginan yang minta selalu dipuaskan.  Sehingga wajar ketika suara hati tidak lagi ‘bersuara’ dan malah digantikan dengan suara yang berasal dari keinginan rendah kita.

Manusia adalah makhluk holistik, dan dipercaya memiliki cahaya saat awal dilahirkan. Cahaya ini merujuk pada keseimbangan, keselarasan dan kemurnian diri. Apa yang kita serap dari kesadaran akan diri dan pengaruh yang tercipta dalam hubungannya dengan alam semesta merupakan nutrisi bagi suara hati.  Menurut penulis, suara hati bukanlah suara setan maupun malaikat, namun ia adalah pancaran dari dalam lubuk hati terdalam yang memiliki dua dimensi,

  • pertama dari proses pengembangan mental positif secara sadar dan tidak sadar yang telah melekat atau tertanam dalam pikiran bawah sadar kita, dan diluar dari persepsi atau pandangan subyektif kita.
  • Dimensi kedua adalah dimensi spiritual, yakni dimensi yang mencakup kesadaran kosmik atau kesadaran yang lebih tinggi dari dan terhadap alam semesta dan Sang Pencipta itu sendiri.

Merawat hati dengan cara mengurangi debu dan kotoran akibat nafsu rendah dan gangguan emosional, kemudian menjernihkannya melalui berbagai teknik spiritualitas yang diyakini oleh high consciousness (kesadaran tinggi) kita merupakan cara yang efektif untuk kembali merasakan suara hati yang jernih (pure conscience).  Dalam beberapa agama dan keyakinan dikenal teknik seperti berpuasa, hidup dalam kesadaran meditatif, berzikir dan sebagainya yang akan mengembalikan suara hati menjadi jernih sehingga pencapaian spiritualitas dapat ditingkatkan lebih mudah dan seiring dengan itu akan terjadi sebuah transformasi spiritual menuju pencerahan.

Suara hati berbeda dari halusinasi auditory karena halusinasi bersifat semu. Sekalipun terasa masih terkait dengan kondisi yang pernah dialami dan suara ‘astral’, namun jika itu terjadi, anggaplah sebagai fenomena yang menunjukkan bahwa kita butuh beristirahat dari aktivitas yang mungkin terjadi secara intense bahkan berlebih, dan dipengaruhi oleh faktor-faktor psikologis yang tidak memberdayakan.  Oleh sebab itu, agar suara hati tetap memiliki hakikat aslinya, kita kembalikan pada kesadaran tinggi dan kesadaran murni kita tanpa mencampuradukkan dengan persepsi atau peta mental kita yang sering bias.

Semog artikel ini bermanfaat !