Mencermati benih spiritualitas

spiritualSetiap orang pada dasarnya, sejak dalam rahim ibunya telah ditanamkan benih spiritualitas dari Sang Maha Pencipta. Seorang janin dalam kandungan telah melakukan interaksi pada alam mikro dan makrokosmosnya sendiri, yang merupakan cerminan kecil dari yang ia peroleh saat telah terlahir dan menjadi dewasa. Sekalipun demikian interaksi si janin ini adalah interaksi murni yang kadarnya mungkin seperti logam mulia karena ia langsung terhubung dengan sang ibu yang mendapatkan anugrah dari Sang Pencipta untuk membesarkan benih cinta kasih dari orang tua dan Tuhan YME sendiri. Dalam kondisinya di alam rahim tersebut tercipta benih-benih spiritual yang bila semakin dikembangkan oleh ibu, ayah dan sekelilingnya akan menjadikan ia terlahir menjadi seorang anak yang pengasih, penyayang dan memenuhi berbagai unsur ilahiah yang akan menjadikannya kuat, tegar akan menjalani masa depannya kelak.

Ketika terlahir di alam fana ini, seorang bayi manusia masih memiliki kadar kemurnian yang sangat tinggi sehingga ia selaras dengan alam mikrokosmos dan makrokosmosnya.  Ia mulai mendengarkan suara orang tuanya yang memanjakan dan menyayanginya yang memberikannya nutrisi awal untuk menjadikannya memahami realitas atas suatu rasa syukur orang tua terhadap kelahirannya. Kemudian saat menjadi anak-anak, ia akan bertumbuh dengan suasana lingkungan yang lebih luas dan mendengar berbagai suara baik dan buruk, dan ini juga akan tertanam dan menjadi referensi baginya untuk melihat realitas dunia yang lebih luas. Di sini mulai timbul keingintahuan yang kuar dan bimbingan yang baik dari orang tua dengan nilai-nilai moral sudah harus ditanamkan agar ia memiliki kerangka moralitas hidup berinteraksi dengan orang lain dan bisa menghargai satu sama lain.  Benih spiritualitas ini seyogyanya tidak dikontaminasi dengan berbagai kepentingan sempit dan pandangan sempit karena ia adalah karunia Tuhan yang sempurna dan akan menentukan arah hidupnya kelak.

Disiplin dan moralitas sebagai dasar pijakan agar ia bisa melihat benih ketuhanan yang ada dalam dirinya. Ketika ia dikenalkan dengan berbagai suasana dan ritual keagamaan, seyogyanya ia mendapatkan gambaran yang cerah dan mencerahkan terlepas dari segala persepsi yang tidak memberdayakan. Jika ada hal yang dianggap penting menjadi filter maka filter itu seyogyanya merupakan pemahaman dan pembinaan akhlak yang baik.  Kebencian dan persepsi yang dimiliki orang tua yang belum melihat secara utuh suatu peristiwa atau sebab-akibat, seringkali menjadi “toksin atau racun terhadap benih spiritualitas’ anak-anak mereka.  Ingatlah anak-anak lebih dominan meng copy paste berbagai model atau pandangan orang tuanya. Jika ia besar dalam lingkungan yang penuh cinta kasih dan kasih sayang, maka ia akan bertumbuh menjadi anak yang soleh, anak yang mampu mengembangkan nilai-nilai spiritual dan moralitasnya. Sebaliknya, jika ia hidup dalam dunia kebencian dan kemarahan, maka ia akan tumbuh menjadi anak yang keras, kasar, egois, pemarah, sehingga banyak benih spiritualitas yang baik yang telah tertanam dalam dirinya akan hancur. Hal ini terus berkembang sehingga ia menjadi tidak selaras lagi dengan alam mikro dan makrokosmosnya.

Benih spiritualitas memang harus “disiram” dengan cinta kasih dan kasih sayang, dijaga dengan pemahaman moralitas dan dimotivasi dengan pencapaian nilai spiritualitas yang lebih tinggi, sebuah kesadaran yang akan membawanya kelak menjadi orang yang berpandangan luas, dengan nilai-nilai ketuhanan yang akan membimbingnya memasuhi wilayah terindah dalam hidupnya sehingga ia mampu memberi manfaat bagi banyak orang tanpa didalamnya memuat unsur kebencian dan kemunafikan.

Semoga artikel ini bisa memberikan kita sudut pandang dan pemberdayaan diri agar memahami hakekat dari pentingnya mencermati benih-benih spiritual dalam setiap diri kita sehingga bisa mencapai tataran yang lebih tinggi, bahkan bisa mencapai kesadaran paripurna.