Keragu-raguan mengikis Kepekaan Intuisi

intuisiSejak lahir pada dasarnya manusia telah diberikan kemampuan yang disebut intuisi, atau sering disebut juga indera ke enam. Hanya saja beberapa faktor internal dan eksternal melakukan intervensi sehingga lambat laun ketajaman intuisi kita mulai ‘tumpul’ dan akhirnya terasa tidak punya sama sekali. Ketika dewasa dan mulai mengenal istilah intuisi atau indera ke enam, sebagian besar sudah merasa ‘asing’ dan ‘aneh’ bahkan cukup banyak yang malah menganggapnya sebagai hal yang mistis, padahal intuisi adalah sarana yang diberikan Sang Pencipta agar kita bisa memahami apa yang tidak bisa dinilai secara langsung ketika menggunakan ke lima indera (panca indera) kita yang secara lahiriah/ fisik bisa dilihat.

Intuisi  atau indera ke enam memang banyak memberikan kontribusi dalam bentuk ‘firasat’, atau bisa dalam bentuk lain seperti kemampuan melihat waskita (clairvoyance) dan mendengar secara waskita (clairaudience). Beberapa kemampuan ini sebenarnya ‘bekal’ yang diberikan oleh Tuhan YME dan harus dioptimalkan agar kita tidak mudah terjerumus oleh nafsu-nafsu inderawi. Namun, karena perilaku yang semakin lama semakin jauh dari nilai-nilai sakral dan keluhuran baik dalam berpikir, berucap maupun berperilaku, maka akan muncul hal-hal berikut:

  • Intuisi menjadi ‘buram’ seperti air yang tadinya jernih akhirnya menjadi keruh
  • Matinya suara hati, sehingga setiap penyimpangan yang biasa dilakukan atau telah ‘membudaya’ tidak lagi memberikan nutrisi yang baik bagi perkembangan intuisi
  • Ketika lebih besar khayalan yang tidak diimbangi oleh observasi atas berbagai fenomena yang terjadi dalam kehidupan kita, maka akan muncul bias yang menghambat intuisi kita. Khayalan berlebih bisa berakibat buruk ketika kita tidak bisa lagi memisahkan mana yang nyata dan tidak nyata, dan gagal memahami makna dari setiap bentuk yang dipancarkan oleh intuisi kita
  • nafsu-nafu akan wujud atau lahiriah termasuk di dalamnya kerakusan, ketamakan, kesombongan dan keinginan untuk selalu hidup atau menikmati bentuk-bentuk lahiriah baik diri sendiri maupun orang lain, akan membutakan mata hati. Ketika ini terjadi maka intuisi yang muncul tidak lebih dari sekedar aksesoris pada tataran pikiran bawah sadar yang tidak banyak bernilai.

Seorang meditator atau spiritualis yang memiliki intuisi atau indera ke enam adalah mereka yang terlatih untuk menjaga keseimbangan dan keselarasan dalam diri mereka khususnya mencegah agar tidak terjerumus dalam ke empat hal yang disebutkan di atas.  Di sisi lain, adapula sebagian orang yang tidak memahami bahwa apa yang mereka katakan sebagai ‘intuisi’ atau ‘indera ke enam’ yang mereka sering proyeksikan melalui kemampuan yang mereka nyatakan sebagai clairvoyance dan mampu melihat berbagai penampakan dari mahkluk astral pada golongan bawah seperti jin, dan sebagainya, sebenarnya merupakan

  • perwujudan dari bias dalam intuisi.  Memang tidak semua yang melihat makhluk ini dikategorikan ‘bias intuisi’ jika mereka memiliki keseimbangan bathin dan keselarasan mental spiritual yang baik dan tentunya bertubuh sehat.  Bias Intuisi ini adalah istilah yang penulis gunakan khusunya bagi mereka yang lemah dari sisi spiritualitas dan lebih cenderung menjadi orang yang senang ‘bermain’ dengan berbagai instrumen mistik yang tidak memberdayakan seperti menggunakan peralatan klenik yang sebenarnya akan menjauhkan dirinya dari intuisi yang telah diberikan Sang Pencipta sejak lahir.
  • Ketika mereka menjadi bagian dari dalam ‘kegelapan’ itu sendiri, maka yang mereka rasakan sebagai intuisi sebenarnya jiwa-jiwa yang sedang menderita dan kekurangan energi vital kehidupan. Jiwa-jiwa ini mencakup jiwa mereka sendiri ditambah dengan jiwa-jiwa (ruh) yang dipanggil dari alam lain yang tidak atau belum memasuki dimensi yang cerah (enlightened dimension)

Untuk itu, agar kembali memiliki intuisi atau indera ke enam yang baik, seyogyanya kita senantiasa dapat meningkatkan kesadaran akan diri yang lepas dari berbagai ego dan pandangan yang keliru atas wujud atau bentuk-bentuk lahiriah dan berlatih memandang dunia secara bijak dan komprehensif sehingga ketika terjadi berbagai bentuk ‘pembiasan’ yang dilakukan oleh diri sendiri maupun oleh orang lain yang bersumber dari informasi, data bahkan fakta yang dilihat secara inderawi, maka intuisi atau indera ke enam mampu membedakannya dan akhirnya kesimpulan atau keputusan yang diambil akan jernih dan bebas dari berbagai kepentingan sesaat atau yang tidak memberdayakan. Dan ketika kita ragu-ragu dalam ‘membaca’ intuisi kita, segeralah kita melihat kedalam apa yang menjadi akar penyebab keraguan itu. Keraguan yang sering muncul tentunya akan mengikis kepekaan intuisi kita sendiri dan akhirnya kita tidak mempercayainya. Saat ini terjadi, maka banyak sekali referensi dari luar baik dari orang dekat atau orang lain yang akan ‘berebut’ untuk menguasai pusat pengembangan intuisi dalam diri kita, yang belum tentu semuanya baik sekalipun mereka disajikan dalam bentuk pelatihan pemberdayaan diri yang paling top sekalipun. Ingatlah bahwa setiap orang memiliki frame yang berbeda dan ketika itu diarahkan untuk menanamkan suatu ‘benih’ yang bertentangan dengan nilai moralitas, misalnya, maka bisa saja terjadi pemberdayaan diri tersebut menjadi salah satu faktor pemicu kita menjadi ragu akan intuisi kita sendiri.

Semoga artikel ini bermanfaat.