Keragaman Tradisi Energi (Bisa) Meningkatkan Spiritualitas

pencerahanTradisi energi yang diciptakan oleh manusia yang kita golongkan dalam kelompok Prana seperti Reiki dan ratusan atau ribuan variansnya, Prana CKS, Seichim, Chi Kung dan lain-lain, serta tradisi yang kita kelompokkan di bawah Shakti seperti Kundalini, tenaga dalam Inti, dan sebagainya sekalipun berada pada tataran ‘tradisi’ namun dari sinilah awal mula mengenal tingkatan berikutnya sehingga timbul kesadaran spiritual yang lebih baik.

Sebenarnya yang membuat tradisi energi itu menjadi tidak mencerahkan adalah karena masing-masing merasa paling hebat karena mengusung konsep esoterik kuno dari India, Tibet atau Jepang misalnya, sehingga praktisinya pun terperangkap pada kesan bahwa yang ia pelajari dan kuasai adalah yang terbaik. Padahal masing-masing memiliki konsep yang berbeda dan tingkat vibrasi energinya pun bervariasi.

Dari pelatihan Prana Shakti Dharana yang penulis berikan, setelah dilakukan chanelling ke beberapa tradisi energi yang ada di bawah kelompok Prana maupun Shakti, dapat diketahui bahwa tidak semua orang memiliki ‘sense’ atau merasakan vibrasi energi yang dipastikan ‘terbaik’ sekalipun mungkin konsep yang ditawarkan dalam tradisi tersebut sudah membaurkan berbagai pola energi. Ada yang merasa lebih pas ketika mengakses energi Shamballa MDH, ada yang Seichim, adapula yang Kundalini Reiki misalnya. Setelah dilakukan beberapa uji coba ternyata masing-masing praktisi memang merasa lebih ‘nyaman’ dengan tradisi energi yang mereka rasakan lebih pas bagi mereka (walaupun ada cukup banyak yang merasakan bahwa Kundalini Reiki memiliki lebih banyak keunggulan daripada beberapa tradisi energi sejenis, namun tidak bisa digeneralisasi begitu saja).

Perkembangan spiritualitas ibarat kuncup bunga yang mengalami masa tertentu untuk mekar dan berkembang. Demikian pula tingkat spiritualitas. Di sisi lain, pencapaian dari masing-masing praktisi atas sensasi energi juga berbeda-beda ibarat orang buta yang menganggap gajah itu seperti ular (karena memegang bagian belalainya), atau menganggap gajah itu seperti kipas (karena memegang telinganya) dan sebagainya.  Ketika tingkat kesadaran spiritual berkembang sejalan dengan transformasi pikiran, ucapan dan tindakan dari praktisi tersebut, maka mereka akan mengenali pola kesadaran energi pada tingkat atau dimensi yang lebih tinggi, lepas dari ‘kemelekatan’ pada tradisi energi yang selama ini mungkin dianggap superior karena doktrin yang ditanamkan secara kurang bijak oleh Master tradisi energi nya.

Kultivasi kesadaran energi bisa dicapai dalam beberapa menit penyelarasan energi, namun kesadaran spiritual tidak bisa hanya dengan pelatihan tradisi energi sekalipun belajarnya bertahun-tahun dan berpuluh-puluh tingkatan. Yang perlu dicermati adalah kesadaran spiritual tidak bisa dicapai melalui ‘fanatisme’ keilmuan apalagi masuk ke dalam berlapis-lapis tingkatan tradisi karena hal ini bisa memberi efek sebaliknya, dimana pencerahan yang bersumber dari kesadaran spiritual malah tidak tercapai sama sekali.

Semoga pembaca dapat menangkap pesan yang penulis buat dalam artikel ini dengan baik dan memperoleh pemahaman baru atas kesadaran spiritual itu sendiri.