Sering kita dengar dan saksikan di kala suatu daerah tertimpa musibah, seperti bencana alam, kekeringan, dan lain-lain namun masih banyak orang yang tidak memiliki sensitivitas atau kepekaan sosial. Mereka masih bergaya hidup mewah, pamer kekayaan, ngomong sesuka hatinya bahkan tidak jarang melecehkan pihak lain yang sedang ditimpa musibah. Gejala apakah ini? Apakah perubahan zaman mampu merubah segalanya termasuk tatanan sosial dan norma-norma dalam masyarakat, atau mereka sudah tidak memiliki budaya malu lagi?
Memang pada dasarnya setiap orang punya hak untuk melakukan apa yang ingin dilakukan, namun yang sering dilupakan adalah bahwa setiap orang memiliki tanggung jawab sosial karena hidup berdampingan dengan orang lain, sama-sama memiliki perasaan dan harga diri. Budaya asing seperti gaya hidup hedonis sebenarnya tidak tepat diterapkan di negara kita, sebab kondisinya jauh berbeda dengan mereka yang tinggal di negara-negara maju. Mulai dari tingkat pendidikan, tingkat kesejahteraan dan nilai-nilai religius yang berbeda memperburuk hubungan inter-personal dan bermasyarakat. Belum lagi sistem politik dan ekonomi yang berbeda menjadikan masyarakat hidup dalam kesenjangan (gap) yang lebar antara kaya dan miskin.
Budaya malu sebenarnya sudah dikembangkan sejak nenek moyang kita. Namun karena dalam perkembangannya sikap generasi yang hedonis telah mengalahkan budaya luhur bangsa, ditambah dengan sistem pendidikan liberal yang ditelan mentah-mentah menambah degradasi moral dan etika. Dahulu saat penulis masih duduk di bangku sekolah, dikenalkan Pendidikan Moral Pancasila dan Pelajaran Agama, yang menanamkan nilai-nilai positif hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Namun sayangnya dewasa ini sikap tenggang rasa dan saling menghormati, menjaga etika terhadap orang tua dan guru, misalnya, nampaknya sudah banyak ditinggalkan karena kurikulum dan muatan yang mengajarkan nilai-nilai luhur, moralitas dan etika sudah banyak berkurang. Tak heran di berbagai sekolah apalagi yang bertaraf internasional banyak ditemukan murid-murid yang tidak menaruh rasa hormat kepada gurunya. Kemudian, komunikasi orang tua dan anaknya yang kurang akibat kesibukan orang tua dalam mencari nafkah membuat anak-anaknya bebas bergaul dan tidak jarang kurangnya pengawasan ini mengakibatkan beberapa di antaranya terjerumus pada pergaulan bebas, penggunaan narkoba dan sebagainya.
Dengan semakin sulitnya mencari rezeki dari pekerjaan karena faktor persaingan yang tidak sehat dan pemutusan hubungan kerja sehingga berakibat pada rendahnya daya beli masyarakat di satu sisi, dan sulitnya berusaha karena tingginya beban pengusaha dalam membayar bunga pinjaman dari Bank dan ongkos produksi di sisi lainnya menyebabkan krisis ekonomi semakin menjauhkan masyarakat dari moralitas dan etika. Sebagian dari mereka menggunakan berbagai cara agar “dinasti”nya bertahan, kelompok yang bermodal besar bisa menekan kelompok kecil, mereka yang dominan menguasai industri tidak ingin ada kompetitor sehingga masing-masing bergerak dengan hukum rimba, bukan hukum ekonomi lagi.
Bagaimana mungkin kepekaan sosial bisa berkembang di dalam Hukum Rimba? Minimnya peranan pemerintah dalam mengoptimalkan kemampuan masyarakat menengah ke bawah karena beranggapan semua orang harus bisa mandiri, tanpa perlu dibuat kebijakan yang mengatur bidang perekonomian dan membiarkan ekonomi dihanyutkan oleh mekanisme pasar, ditambah situasi dan kondisi politik yang hiruk pikuk, membuat penderitaan dimana-mana baik masyarakat maupun usahawan itu sendiri. Dalam Hukum Rimba tidak ada lagi budaya malu, karena yang kuat menekan yang lemah. Oleh sebab itu, untuk kembali kepada iklim yang sejuk dan kondusif, baik pemerintah, politisi, pengusaha dan masyarakat harus saling bahu-membahu, saling mengingatkan dan bukan saling menjatuhkan.
Pribadi yang peka akan kehidupan sosial tidak hanya bergantung pada kepiawaiannya untuk mengolah ego, memberdayakan diri dan lain-lain, namun juga peranan pengambil kebijakan, suasana yang nyaman dan kondusif merupakan variabel penting yang tidak bisa dilepaskan atau dianggap enteng. Ketika sebagian orang sedang menghadapi musibah, kepekaan sosial sangat dibutuhkan. Berikut adalah beberapa Budaya Malu yang harus dikembangkan agar kepekaan sosial meningkat:
- malu mencari nafkah dari cara yang tidak halal seperti korupsi dan melakukan penipuan,
- malu saat tidak menjalankan fungsi dan peranannya dengan baik (bagi pengambil kebijakan),
- malu saat mengetahui apa yang dikerjakannya menyusahkan hidup orang lain,
- malu ketika memamerkan kekayaan di saat banyak orang yang menderita dan hidup dalam kemiskinan,
- malu berbicara kasar dan songong,
- malu melakukan kolusi dan nepotisme
- malu jika tidak berbuat sopan dan santun terhadap orang yang lebih tua atau dituakan
- dan sebagainya
Semoga artikel ini bermnanfaat bagi kita semua.