Kekaguman itu lumrah tapi jangan berlebihan!

Kekaguman yang membahayakanDewasa ini seiring dengan pesatnya perkembangan ilmu pemberdayaan diri di negara kita, baik yang diperoleh dari luar negeri maupun dari trainer atau motivator dalam negeri, membuat banyak peserta menjadi terkagum-kagum atas sosok public figure tertentu apalagi jika sering tampil di layar kaca.  Kagum akan sebuah talenta, skill maupun pencitraan diri seseorang biasanya muncul secara alami, namun kekaguman yang membabi-buta bisa berpotensi buruk karena self-image diri sendiri tidak bisa berkembang, bahkan bisa menjadi fans berat seumur hidup. Apakah ada yang salah dengan fenomena ini?

Jika kita menggunakan mata dan telinga kita apalagi melihat LIKE yang jumlahnya ribuan bahkan jutaan di media sosial, pikiran kita mudah jatuh pada jebakan (trap) yang tidak memberdayakan, sekalipun kita menyukai kata-kata orang yang kita anggap ahli pemberdayaan diri.  Hal ini bisa terjadi karena sebagian besar tertumpu pada sosok atau figur dan tidak melakukan internal check apakah ada yang kurang tepat untuk diterapkan dalam diri kita atau apakah kata-kata ‘bijak’ yang diucapkan seorang motivator atau trainer tersebut hanyalah sebuah klise, hiperbola atau mungkin ‘lebay’.  Agar tidak terperangkap dengan berbagai hal yang tidak memberdayakan ini, seyogyanya kita tetap berpedoman pada pengalaman, pengamatan dan pembelajaran dari hidup kita sendiri dengan melakukan perbandingan yang proporsional dengan apa yang dinyatakan para pakar tersebut.  Kebanyakan dari kata-kata yang enak didengar adalah bersifat bahasa ‘langit’ alias “mengawang-awang”, yang dalam NLP sering disebut sebagai Milton Model. Dalam beberapa kasus, pola bahasa ini bisa membantu pemberdayaan diri, namun bagi orang-orang yang kurang cermat maka bahasa-bahasa ini bisa menjadi bumerang, sebab tidak mengkritisi kelemahan diri dan tidak mendorong terjadinya perubahan seperti yang diharapkan.

Memang sangat enak didengar ketika kita dikatakan “Luar biasa…”, “dahsyat sekali…”, “anda adalah segalanya..” dan sebagainya namun cobalah rasakan hal ini ketika disampaikan oleh bukan seorang motivator, misalnya anda bertemu dengan orang yang tidak dikenal di sebuah mal, dan orang itu tahu anda senang dipuja dan dipuji, maka anda bisa dengan mudah ‘terlena’ bahkan tidak terasa anda mungkin mengeluarkan banyak uang untuk “membalas” pujian orang tersebut, bahkan bisa saja anda menjadi korban penipuan !

Penulis dalam artikel ini ingin menyampaikan pesan bahwa kita seharusnya selalu waspada, tapi bukan su’udzon atau negative thinking. Sekalipun kata-kata motivasi yang diucapkan oleh seorang motivator  tidak memiliki pengaruh negatif, bahkan terkesan sangat positif dalam pemberdayaan diri, namun kita perlu meningkatkan introspeksi dan modifikasi yang dibutuhkan dari apa yang kita lihat dan dengarkan, yang sesuai outcome yang ingin kita capai. karena semua orang memiliki masalah yang berbeda-beda, dan sekalipun mungkin pada tataran luar terdengar persis dengan masalah yang kita hadapi, namun pemicu terjadinya masalah, lingkungan, latar belakang pendidikan, dan sebagainya adalah hal yang tidak bisa diabaikan begitu saja.

Bukan apa yang enak dilihat oleh mata, atau apa yang menyenangkan di dengar oleh telinga kita yang membuat kita bisa memberdayakan diri kita, namun banyak dari apa yang tidak enak dilihat dan didengar malah menjadi “obat” atau “vitamin” bagi pikiran kita dan pemberdayaan diri secara holistik sebab biasanya “yang enak-enak saja” seringkali membius kita sehingga lupa untuk mengkritik diri sendiri, sedangkan “yang tidak enak dilihat dan didengar” malah ditangkap oleh pikiran kita sebagai “obat” atau “vitamin” yang bisa mencerahkan diri kita karena rasa sakit, rasa tersinggung, dan sebagainya karena kesalahan yang telah kita lakukan bisa menyadarkan diri kita untuk segera “kembali ke jalan yang  lurus”.  Ingatlah bahwa mata diciptakan Tuhan YME bukan untuk melihat yang bagus-bagus saja, dan telinga diciptakan bukan untuk mendengar yang enak-enak saja atau yang menyenangkan hati.

Berapa banyak orang yang secara ekonomi sukses dan mencintai seni pemberdayaan diri, namun ketika mereka bertemu dengan orang lain, ego nya muncul dan tetap saja memandang rendah orang lain.  Berapa banyak orang yang memiliki kekuasaan atau posisi penting dan menyenangi seni pemberdayaan diri, namun ketika orang banyak menjerit mengalami kesusahan dalam hidup karena faktor ekonomi, mereka seakan-akan tidak mendengar, bahkan dengan mudahnya bersilat lidah di layar kaca atau dalam berbagai pertemuan sosial dengan masyarakat.  Inilah fakta yang perlu dicermati agar esensi dari seni pemberdayaan diri tidak hanya sekadar retorika dan omong-kosong belaka.

Semoga artikel ini bermanfaat !