Sebuah renungan yang dibuat penulis di sebuah media sosial hari ini menjadi artikel yang menarik untuk diulas lebih lanjut. Mengapa kita harus menghindari bahasa yang bernada mengancam dan sebaliknya harus mulai menumbuhkan kesadaran? Berikut kutipan yang penulis muat di fb:
Menanam Kesadaran lebih bermanfaat dari menebar ancaman. Ancaman dlm kadar tertentu bisa memberikan rasa takut berbuat namun ia akan berbalik merubah seseorang jadi apatis bahkan bisa memancing munculnya emosi negatif. Namun, kesadaran sekalipun butuh lebih banyak waktu untuk menumbuhkannya namun ia dapat mengembangkan berbagai atribut positif bahkan menyembuhkan luka bathin.
Dari renungan tersebut cukup jelas kita pahami bahwa apa yang muncul setelah kata-kata yang bernada ancaman, sekalipun terlihat bertujuan untuk menyadarkan manusia, ternyata tidak efektif apalagi dalam kondisi yang tengah dihadapi dewasa ini karena berbagai ilmu pengetahuan telah membawa perubahan pada proses berpikir manusia di samping berbagai faktor psikologis yang menuntut survival yang tinggi di tengah deraan masalah ekonomi, misalnya.
Jika dikatakan periode dapat diterima dan dipahaminya sebuah pesan dibalik kata-kata yang bernada mengancam itu hanya sangat singkat dan hanya efektif berlaku bagi mereka yang telah mencapai tingkat kesadaran tertentu, maka bagi mereka yang sudah buta mata hatinya atau mengalami gangguan emosional akan dapat ‘dikembalikan’ ke jalan yang ‘lurus’ hanya dengan menanamkan benih-benih kesadaran. Ibarat hendak memadamkan ‘api’ kita tidak bisa menggunakan minyak atau kayu (ancaman), tetapi kita menggunakan air (kesadaran). Air di sini bermakna kata-kata bijak, pola bahasa yang bisa merubah mindset menjadi lebih baik dan contoh dalam kehidupan nyata yang kita bentuk dan tularkan kepada mereka. Banyak orang yang menjadi sadar setelah melihat perilaku positif dari orang dekat atau lingkungannya yang konsisten dengan ucapan-ucapan mereka.
Tidak heran jika dewasa ini bahkan di lingkungan yang dulunya terkenal sebagai lingkungan yang religius, semenjak terjadi perubahan zaman, ternyata malah menjauh dari harapan baik dari pemuka agama maupun orang tua. Hal ini disebabkan karena kurangnya menanamkan kesadaran dalam setiap ucapan dan perilaku (etika dan moralitas). Sebaliknya, kata-kata yang benada ancaman dengan berbagai cara terus dilontarkan sehingga memberikan kesan bahwa berbagai ucapan tersebut hanyalah di ‘bibir’ saja. Mereka bahkan berpikir ‘toh orang bisanya ngomong dan ngancam, padahal mereka tidak pernah tahu dan merasakan apa yang saya alami sekarang’.
Kembali pada pembentukan etika dan moralitas, dibutuhkan waktu mulai dari ‘menanam’ benih kesadaran melalui berbagai aktivitas yang memberdayakan seperti membuka peluang usaha agar muncul semangat bagi mereka yang sedang mengalami krisis ekonomi, atau membuka kelas pelatihan ketrampilan atau pengetahuan yang menambah kemampuan dan membantu mereka yang kesulitan dalam mengakses ilmu pengetahuan, merupakan cara terbaik untuk memberi contoh sambil menanamkan semangat yang bisa membentuk etika dan moralitas. Seyogyanya mulai sekarang meninggalkan cara-cara kuno yang tidak banyak membantu yakni dengan cara melakukan reframing (membingkai ulang) persepsi kita, bukan dengan cara yang kontraproduktif lagi. Tindakan yang hanya ‘menuntut’, ‘memaksa’ dan ‘meminta-minta’, harus segera diubah menjadi tindakan yang ‘mendamaikan hati, memberi rasa nyaman dan harapan baru’ sehingga tujuan mulia sesuai cita-cita religius dan kehidupan sosial bermasyarakat dapat tercapai.
Semoga artikel ini memberikan sudut pandang baru bagi kita semua sehingga kita pandai menyikapi perubahan dalam kehidupan baik untuk diri sendiri maupun dalam kaitannya dengan individu lain dan lingkungan kita.